Dulu Mau Jadi Dokter, Sekarang Mau Jadi Content Creator


Dulu, kalau anak SD ditanya "Cita-citanya mau jadi apa?" jawabannya seragam seperti seragam hari Senin: dokter, polisi, tentara, guru. Profesi yang mulia, berseragam, dan — katanya — bisa menyelamatkan dunia.

Tapi sekarang, coba tanya anak zaman TikTok. Jawaban paling laku bukan lagi "Mau jadi dokter biar nolong orang," tapi:

“Mau jadi content creator biar dapet centang biru.”
Atau, yang lebih jujur:
“Biar dapet duit dari endorse.”

Fenomena ini bukan sekadar lucu-lucuan. Ini pertanda bahwa dunia sudah shifting — bukan cuma dari analog ke digital, tapi dari idealisme ke algoritma.

Dulu, orang belajar anatomi manusia. Sekarang, belajar anatomi YouTube dan algoritma Instagram.
Dulu, bangun jam 5 pagi untuk jaga di IGD. Sekarang, bangun jam 5 sore karena begadang ngedit konten "24 Jam Makan Mie Instan."

Yang satu menyelamatkan nyawa, yang satu menyelamatkan engagement rate.

Mari kita jujur: jadi dokter butuh waktu 6–10 tahun dan biaya tidak sedikit. Sedangkan jadi content creator? Kadang cuma butuh ring light, HP kentang, dan satu video viral.
"Jadi dokter capek-capek kuliah lama, giliran buka praktik, pasiennya tanya, 'Dok, bener nggak sih yang katanya lemon bisa nyembuhin semua penyakit? Soalnya aku lihat di TikTok.'"

Miris, tapi relate.

Mungkin ini bukan semata generasi yang malas, tapi generasi yang realistis—atau setidaknya begitu katanya. Gaji awal PNS kalah sama pendapatan AdSense bocil-bocil Free Fire. Dan dalam dunia di mana views bisa beli mobil, siapa butuh stetoskop?

Jadi content creator bukan salah. Tapi isi kontennya, nah, itu yang kadang seperti nasi goreng tapi isinya cuma kecap.
Ada yang bikin prank pura-pura meninggal, biar views naik. Ada yang pura-pura jadi pengemis, padahal pas break syuting naik Fortuner.

Kalau cita-cita sudah jadi view hunter, kapan empati dan edukasi ditaruh lagi di keranjang?

Menjadi dokter mungkin tak trending tiap hari. Tapi mereka ada di IGD 24 jam, tanpa notifikasi like.
Menjadi guru tak akan dapat kolom komentar penuh emoji hati, tapi mereka yang menyiapkan generasi berpikir kritis — bukan hanya "cuy, coba ini di rumah!"

Karena pada akhirnya, view bisa turun, algoritma bisa berubah, tapi nilai hidup tidak pernah kedaluwarsa.

Mungkin bukan soal memilih antara dokter atau content creator. Tapi soal niat dan dampak.

Kalau mau jadi content creator, silakan. Tapi jadilah yang memberi nilai, bukan cuma numpang viral.

Dan kalau masih ingin jadi dokter? Jangan takut kalah tenar. Dunia masih butuh penyelamat, bukan hanya selebgram yang viral karena "Tutorial Menyikat Gigi Sambil Joget."

Cita-cita generasi muda memang berubah. Tapi semoga yang tidak berubah adalah tujuan baiknya.

Dulu mau jadi dokter, sekarang content creator. Asal jangan besok-besok cita-citanya: "Mau jadi viral, terserah caranya." 

No comments

Powered by Blogger.