Skill Tanpa Empati: Kantor Jadi Mesin, Bukan Tim


Di zaman sekarang, skill itu penting.

Bisa Excel, jago coding, paham manajemen, fasih presentasi dalam tiga bahasa itu semua keren.

Tapi sayangnya, makin kesini banyak yang lupa kalau kerja itu bukan cuma soal otak, tapi juga soal hati.

Iya, hati.

Bukan buat naksir rekan kerja, tapi buat ngerti orang lain, alias empati.

Hal sederhana yang bikin kita beda dari printer kantor, bisa merasa dan mikir, "Eh orang ini capek juga ya?"

Pernah gak sih kerja bareng orang yang skillnya luar biasa, tapi rasanya kayak ngobrol sama Google Translate?

Misalnya "Saya sudah selesaikan tugas kamu. Tadi saya revisi semua karena menurut saya salah semua"

Ya ampun, terima kasih ya, malaikat pencabut harga diri.

Skill boleh dewa, tapi kalau ngomong kayak mesin, tim kerja bisa bubar.

Apalagi kalau tiap komunikasi rasanya kayak di sidang.

Kadang kita cuma butuh orang yang bisa bilang :

"Ini ada yang kurang, tapi tenang aja, kita benerin bareng-bareng ya"

Tuh, adem kan?

Kalau perusahaan cuma mau orang jago tanpa peduli empati, yaudah sekalian hire robot AI.

mereka gak perlu cuti, gak bakal curhat, dan kalau disalahin, gak ngambek.

Tapi lucunya, robot aja sekarang mulai dilatih empati.

Sementara manusia-manusia modern malah makin dingin kayak nasi semalam. Ironis banget, kan ?

Kita kerja bareng manusia, bukan barang.

Tiap orang punya emosi, punya masalah, punya keluarga yang bisa bikin datang telat atau zonk seharian.

Tapi ada aja yang ngomong "Masalah pribadi jangan dibawa ke kantor dong!"

Lah, terus kita harus di setrum dulu biar bisa 100% profesional?. Kita bukan saklar, Bos!

Empati itu bukan berarti jadi lembek, tapi tahu kapan harus bantu, kapan harus ngerti, dan kapan harus diam tangpa ngegas.

Beberapa atasan bangga banget kalau bilang "Saya memang dikenal galak. Tapi semua kerjaan selesai"

Pertanyaanya selesai dengan kondisi tim utuh, atau selesai dengan korban batin berjatuhan?

Kalau target tercapai tapi timnya burnout, resign, atau saling benci, itu bukan sukses, itu toxic leadership dibungkus kata "tegas".

Banyak yang mikir empati itu bakat.

Padahal bisa dipelajari.

Sama kayak belajar pivot table atau cara pakai Slack.

Cuma perlu satu langkah kecil yaitu mau dengerin orang lain tanpa langsung nyela.

Empati bikin ruang kerja lebih sehat, lebih suportif, dan lebih manusiawi. Dan percaya deh kerja bareng orang yang ngerti rasanya dimanusiakan itu bikin betah, walau gaji belum naik-naik.

Akhir kata punya otak encer itu nilai plus. Tapi punya hati yang hangat itu nilai mahal.

Karena perusahaan bisa ajarin skill, tapi gak bisa paksa orang buat punya rasa.

Jadi sebelum ngaku profesional sejati, coba tanya ke diri sendiri.

"Gue ini kerja kayak manusia, atau udah kaya robot yang lupa update firmware empati?"

No comments

Powered by Blogger.