RS Sudah Digital, Tapi Antrinya Masih Manual


“Klik daftar online, lalu datang subuh-subuh bawa pulpen dan doa.”

Di era serba digital ini, rumah sakit (RS) pun tak mau ketinggalan tren. Brosur-brosur dengan jargon “Sistem Antrian Online” dipasang di berbagai sudut. Aplikasi pendaftaran dipromosikan dengan semangat seperti sedang launching startup. Tapi entah kenapa, pasien tetap harus datang sebelum ayam jantan sempat stretching.

“Daftar online ya, biar gak ribet,” kata petugas di RS.

Tapi ujung-ujungnya… “Datang jam 4 pagi ya, buat ambil nomor antrian fisik.”

Lho?

Sistem digital rumah sakit kadang seperti wajah mantan: kelihatan canggih dari luar, tapi di dalamnya masih menyimpan luka—eh, spreadsheet. Banyak RS mengaku punya e-registration, e-medical record, dan e-kesabaran, tapi kenyataannya pasien tetap harus:

  • Cetak ulang kartu karena “datanya tidak sinkron”
  • Ngantri manual karena “server sedang maintenance”
  • Disuruh isi formulir kertas sambil pegang HP yang sudah login aplikasi

Yang paling bikin senyum getir adalah ketika pasien online dan pasien offline tetap dilayani dalam satu antrean. Jadi, apa gunanya daftar online, kalau tetap duduk di kursi plastik warna merah nomor 83?

Beberapa RS memang sudah bikin aplikasi. Ikonnya menggemaskan, warnanya pastel, dan fiturnya… ehm… hanya dua yang aktif. Sisanya akan menampilkan pop-up: “Sedang dalam pengembangan.”

Pendaftaran online sering tidak real-time, tidak bisa dibatalkan, dan tidak ada pemberitahuan bila dokternya cuti. Jadi saat kamu datang, yang muncul malah poster bertuliskan: “Dokter cuti tanpa pemberitahuan lebih lanjut.” Lalu apa gunanya kita daftar?

Yang lebih absurd: beberapa aplikasi tetap meminta pasien mencetak bukti pendaftaran. Cetak digital? Tidak. Harus print out, pakai tinta, pakai kertas. Jadi digitalisasi ini sebenarnya untuk siapa?

Kita semua tahu, pasien RS bukan hanya anak-anak muda yang fasih mengetik sambil makan basreng. Ada juga nenek-nenek yang baru bisa buka WhatsApp, itu pun sambil teriak-teriak ke cucunya.

Tapi sistem digital rumah sakit kadang lupa akan hal ini. Aplikasi tidak ramah lansia. Tidak ada mode tulisan besar, tidak ada panduan audio, dan login-nya butuh kode OTP, captcha, dan kadang barcode DNA.

Akhirnya? Para lansia tetap datang jam 3 pagi. Duduk di bangku plastik, menunggu “nomor antrian manual” yang ironisnya dicatat dengan bolpen biru dan stempel.

Salah satu alasan klasik kenapa sistem digital RS gagal bekerja adalah kalimat sakti: “Maaf, server sedang down.”

Ini kalimat yang bisa merontokkan iman pasien. Server down artinya semua kembali ke metode purba: kertas, bolpen, dan adu cepat.

Kalau pasien komplain, biasanya dijawab dengan:

“Namanya juga sistem, Pak. Kadang error.”

Tapi herannya, kantin rumah sakit tak pernah error. Selalu buka. Selalu bisa pesen teh manis. Mungkin karena pakai sistem analog: ibu-ibu kasir dengan kalkulator.

Digitalisasi rumah sakit seharusnya dibuat dengan prinsip: mudah, manusiawi, dan masuk akal. Bukan hanya supaya dapat anggaran proyek IT tahunan.

Kalau tetap nyuruh pasien datang pagi-pagi dan isi ulang data yang sudah pernah diisi sebelumnya, maka digitalisasi itu cuma tempelan kosmetik.

Pasien datang ke rumah sakit dengan harapan sembuh. Tapi kalau prosesnya seperti ujian kelulusan, malah bisa tambah darah tinggi.

Digitalisasi boleh hebat. Tapi kalau pasien tetap harus bawa bolpen, bangun subuh, dan ngisi form yang sama untuk ketiga kalinya — maka jelas sistemnya belum memanusiakan manusia.

Dan tolong, jangan lagi suruh pasien print PDF di warnet. Ini tahun 2025. Bukan 2007.

No comments

Powered by Blogger.