Respons Cepat Damkar vs Polisi: Kenapa Netizen Lebih Percaya Petugas Semprot Air?
Di Indonesia, ada satu institusi yang akhir-akhir ini makin dielu-elukan netizen bukan karena seragamnya keren atau mobilnya besar, tapi karena responsnya cepat dan kerja nyatanya kelihatan. Bukan polisi, tapi damkar. Ya, pemadam kebakaran. Lembaga yang dulunya cuma kita pikir tugasnya menyemprot api, ternyata sekarang bisa menyelamatkan kucing, mengevakuasi cincin yang nyangkut di jari, sampai bantu copotin panci dari kepala anak-anak iseng. Kalau bisa bantu mengatasi masalah rumah tangga, mungkin mereka sudah buka posko konseling.
Bandingkan dengan polisi. Ini bukan soal benci institusi, tapi mari jujur: belakangan banyak netizen merasa kalau ada laporan ke polisi, responsnya bisa datang belakangan. Bahkan, bisa-bisa kamu sudah menyelesaikan masalah sendiri, baru polisinya datang—dan minta kronologi. Kadang malah kamu yang dilihat mencurigakan, padahal kamu yang lapor. Sementara damkar? Kamu baru bilang, “Pak, ada api...” — sirinenya sudah kedengaran dari kejauhan. Satu truk penuh abang-abang merah dengan semangat superhero lokal langsung datang.
Akhirnya, muncullah meme dan sindiran lucu: Kalau ada orang hilang, coba bilang ke damkar aja. Atau: Kalau maling masuk rumah, mungkin lebih cepat kalau kita lapor ke pemadam kebakaran ketimbang ke polisi. Ini memang lucu, tapi juga miris. Karena dari situ terlihat bagaimana publik menilai dua lembaga ini: yang satu dianggap kerja diam-diam tapi nyata, yang satu lagi kerja... entah di mana.
Tidak adil memang kalau membandingkan dua institusi dengan tugas yang sangat berbeda. Tapi rakyat jelata tidak peduli siapa bidangnya apa. Yang mereka lihat cuma satu: siapa yang cepat datang saat dibutuhkan. Siapa yang hadir bukan hanya waktu upacara, tapi ketika wajan meledak di dapur kosan. Siapa yang bisa bantu ketika ular masuk rumah, bukan malah bilang, “Itu kewenangan instansi lain, Bu.”
Lucunya lagi, kita sering melihat damkar yang seragamnya lusuh, mobilnya sudah mulai butut, tapi semangatnya tak pernah luntur. Sementara institusi lain, yang anggarannya triliunan, kadang hanya muncul saat ada kamera. Damkar tak banyak gaya, tak banyak bicara—kerja dulu, update media sosial belakangan. Polisi, kadang baru buka laporan setelah upload story dulu.
Dan ini bukan soal menyalahkan sepihak. Banyak polisi baik dan berdedikasi tinggi. Tapi sebagai institusi, polisi punya PR besar untuk merebut kembali kepercayaan publik. Damkar tidak pernah jualan “kami melayani dengan cepat dan ikhlas” — tapi rakyat yang menyimpulkan itu dari pengalaman langsung. Sedangkan polisi, sudah berkali-kali ganti tagline, dari melayani dan melindungi sampai presisi, tapi tetap kalah cepat dari abang-abang semprot air.
Kadang muncul juga pertanyaan di kepala rakyat kecil: kenapa yang anggarannya besar justru responsnya kecil? Kenapa yang tugasnya paling berat justru digaji kecil? Kenapa pemadam kebakaran yang datang tanpa pamrih justru tidak pernah dapat penghargaan seperti “rescue of the year”? Padahal mereka naik ke genteng, turun ke got, dan kadang harus menghadapi bahaya tanpa senjata—hanya modal semangat dan selang air.
Di tengah semua perbandingan ini, netizen sebetulnya tidak butuh institusi mana yang lebih gagah. Mereka hanya ingin tahu: siapa yang benar-benar ada saat dibutuhkan. Di era informasi cepat dan dunia serba digital, reputasi tidak lagi dibentuk oleh iklan TV atau baliho besar, tapi oleh pengalaman orang-orang biasa yang merasa ditolong — atau diabaikan.
Maka tak heran, ketika publik mulai menyindir, "Lain kali lapor aja ke damkar," itu bukan sekadar lelucon. Itu adalah bentuk frustrasi yang dibungkus dalam tawa. Karena kadang, kita cuma bisa ketawa agar tidak menangis.
Dan jika suatu hari nanti kita benar-benar lapor ke damkar bukan karena api, tapi karena hati yang terbakar oleh birokrasi... ya, mungkin itu bukan lagi satire, tapi realita.
Post a Comment