Biaya Pendidikan Mahal, Anak Baru Lahir Orang Tua Sudah Cari Cicilan SPP


Zaman dulu, ketika seorang bayi lahir ke dunia, yang dipikirkan orang tua biasanya soal nama yang bagus, makna yang dalam, atau kalau agak receh: siapa yang harus begadang malam ini. Tapi sekarang, begitu bayi keluar dari ruang bersalin dan menangis untuk pertama kalinya, yang langsung dicari bukan minyak telon atau bedong—melainkan brosur sekolah dasar Islam unggulan yang sudah membuka pendaftaran untuk 5 tahun ke depan. Karena ya, jangan sampai kalah start dengan anak tetangga yang sejak umur 2 tahun sudah bisa bilang “mama, papa, dan artificial intelligence.”

Fenomena ini makin nyata. Di grup-grup WhatsApp keluarga, tak jarang muncul pertanyaan dari orang tua muda yang baru saja ganti popok, “Sekolah montessori yang bisa dicicil di daerah Bekasi ada nggak, ya?” Ini bahkan sebelum bayinya bisa duduk tegak, apalagi membaca. Di marketplace, selain beli popok dan bouncer, orang tua juga mulai lirik-lirik paket persiapan masuk TK. Semua serba cepat. Semua serba panik. Seolah-olah kalau anak umur tiga tahun belum ikut les coding, masa depannya terancam jadi tukang parkir di metaverse.

Tentu kita tahu pendidikan itu penting. Tapi yang lucu—dan menyedihkan—adalah bagaimana sistem dan masyarakat mendorong orang tua untuk menganggap sekolah seperti membeli properti. Ada uang pangkal, uang gedung, uang seragam, uang kegiatan, uang ini-itu, bahkan uang yang namanya “sumbangan sukarela yang wajib.” Kalau enggak dibayar, anak bisa enggak ikut kegiatan. Ini semacam teater ‘gotong royong dengan tekanan sosial’.

Lucunya lagi, kita hidup di negara yang katanya sekolah dasar dan menengah itu gratis. Tapi saat daftar, yang dibagikan pertama kali justru rincian biaya. Bukan silabus, bukan kalender akademik, tapi Excel dengan kolom: uang pendaftaran, uang bangunan, uang buku paket, dan tentu saja: uang kebersamaan. Nggak jelas ini uang buat kebersamaan siapa—muridnya, guru-gurunya, atau panitia lomba 17-an sekolah.

Ini yang membuat banyak orang tua muda hidup dalam ketegangan ekonomi sejak anak belum bisa jalan. Mereka mulai menghindari nongkrong, bukan karena hijrah, tapi karena sedang cicil masuk PAUD. Nongkrong sekarang hanya boleh dilakukan kalau tempatnya ada colokan, Wi-Fi, dan promosi cashback.

Dan dalam semua keresahan ini, yang kasihan ya anaknya juga. Karena belum bisa bilang “aku mau belajar dengan bahagia,” dia keburu didaftarkan ke kursus calistung, pelatihan motorik halus, dan les bahasa Inggris dengan native speaker. Semua demi satu tujuan besar yang mulia tapi bikin pusing: agar anak “nggak ketinggalan.”

Masalahnya, kalau semua anak tidak boleh ketinggalan, siapa yang di depan? Siapa yang di tengah? Siapa yang di belakang? Kita ini mau mendidik anak-anak atau mau bikin lomba lari maraton dengan peserta yang masih pakai diapers?

Tentu tidak salah kalau orang tua ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak. Tapi perlu juga diingat, bahwa mendidik anak bukan soal memborong sertifikat dan kegiatan, melainkan soal hadir. Soal memeluk saat anak bingung, bukan soal punya iPad untuk semua soal. Soal menemani anak menjelajahi dunia sesuai usianya, bukan mengejar ranking seolah hidup ini papan skor.

Jadi kalau kamu adalah orang tua yang sedang stres mikirin biaya sekolah anak yang bahkan belum bisa mengeja namanya sendiri, tenang. Kamu tidak sendirian. Kita semua sedang sama-sama berjuang di dunia yang membuat pendidikan jadi produk premium. Tapi semoga di tengah segala cicilan dan daftar tunggu sekolah, kita tetap waras, tetap tertawa, dan tetap percaya: bahwa anak kita berhak tumbuh dengan bahagia — bukan hanya berpendidikan tinggi, tapi juga bebas dari tekanan sejak usia dini.

No comments

Powered by Blogger.