Nakal Kirim Ke Militer : Solusi Instant Dalam Dunia Yang Malas Memahami


Di negri +62 yang serba praktis ini, kita suka yang instan. Mi instan, cinta instan, bahkan solusi untuk anak nakal pun kalau bisa langsung instant. Maka munculah ide ajaib yaitu anak-anak nakal di sekolah dikirim saja ke pendidikan militer. Tiga hari dibarak katanya cukup untuk membentuk karakter. Disuruh baris, push-up, nyanyi lagu wajib, lalu pulang jadi manusia baru. Canggih sekali, bukan ?

Padahal, kalau saja moral bisa dibentuk lewat bari-berbaris, dunia ini pasti sudah damai sejak jaman Romawi.

Mari kita jujur sejenak. Ketika sekolah memilih mengirim siswa nakal ke pelatihan militer, apa sebenarnya yang ingin dicapai? Apakah itu bentuk pendidikan, atau hanya pengemasan ulang ? Anak-anak yang dulu dianggap menganggu sistem, terlalu ribut, terlalu keras kepala, terlalu malas belajar dikirim ketempat yang lebih keras. Diharapkan nanti kembali ke sekolah dalam versi update terbaru, lebih sopan, lebih diam, lebih bisa diatur.

ini seperti melihat sepatu kotor, lalu memasukanya ke mesin cuci, berharap jadi sepatu baru. Kenyataanya, kadang malah jebol.

Masalhnya bukan pada pelatihan militernya, tapi pada niat dan logika di baliknya. Apakah benar barak militer adalah tempat terbaik untuk anak-anak yang sedang bergumul dengan emosi, lingkungan, atau krisis keluarga ?

Label anak nakal sendiri sebenarnya sudah problematis. Banyak dari mereka bukan nakal karena niat jahat, tapi karena sistem tak cukup peduli. Anak yang sulit duduk diam, sering membantah guru, atau tawuran, sering kali hanya sedang mencari perhatian dari rumah yang rusak, dari sekolah yang dingi, atau dari masyarakat yang terlalu cepat menilai.

Tapi alih-alih mendekat dan mendengar, kita malah menjauh dan menyuruh mereka disiplinkan. Seolah dengan mengatur cara jalan dan suara teriakan, kita bisa mengatur juga luka batin dan kekosongan kasih sayang.

Padahal, anak nakal bukan prosuk gagal. Mereka cuma belum selesai.

Mengirim anak ke pelatihan militer sebagai hukuman adalah cara paling malas untuk menangani masalah perilaku. Mengapa ? Karena pendekatanya bukan menyelami, tapi menaklukan. Bukan memahami tapi membentuk. Padahal anak bukan logam, bukan tentara yang sedang dilatih untuk perang. Meraka manusia muda yang rapuh dan sedang mencari bentuknya sendiri.

Saya tidak anti militer. Banyak nilai baik yang bisa diambil disiplin, kerja sama, ketangguhan. Tapi ketika itu dipakai sebagai obat tunggal untuk semua jenis kenakalan, kita sedang menyederhanakan masalah kompleks menjadi soal teknis baris-berbaris.

Seolah semua anak bisa diperbaiki asal disuruh push-up sampai pingsan.

Padahal, kadang yang mereka butuhkan bukan pelatihan keras, tapi pelukan hangat. Bukan aba-aba, tapi perhatian. Bukan hukuman, tapi ruang untuk didengar.

Dibalik semua ini, ada satu obsesi besar masyarakat membuat anak-anak jadi patuh. Karena patuh itu nyaman. Patuh tidak merepotkan. Anak patuh tidak menentang sistem. Tapi pendidikan sejatinya bukan melahirkan anak-anak patuh, tapi anak-anak paham batas, paham nilai, dan paham diri mereka sendiri.

Jika setiap anak nakal langsung dikirim ke pelatihan militer, maka yang sedang kita bentuk bukan generasi tangguh tapi generasi takut. Takut salah, takut berbeda, takut berpikir.

Anak-anak tidak butuh hukuman untuk menjadi baik. Mereka butuh kesempatan untuk dipahami. Dan kita para dewasa perlu berhenti mencari solusi cepat dan mulai berjalan pelan bersama mereka.

Karena menjadi pendidik seharusnya bukan seperti komandan barak tapi seperti sahabat perjalanan.


No comments

Powered by Blogger.