Siswa Sekolah Jalan Kaki, Kepala Sekolah Naik Mobil Fortuner


Mari kita mulai dari niat yang katanya mulia, siswa diminta jalan kaki ke sekolah. Katanya, biar sehat, biar tidak manja, biar tidak tergantung pada antar-jemput orang tua yang katanya bikin macet dan boros BBM. Di atas kertas, niat ini terdengar seperti kombinasi dari program lingkungan hidup, pendidikan karakter, dan kampanye kebugaran nasional. Tapi begitu turun ke jalan yang kita temukan justru tantangan hidup level ekstrim.

Kebijana ini mungkin lahir di ruang rapat ber-AC sambil ngopi single origin dan memandang slide PowerPoint yang penuh grafik. Sayangnya, slide itu tidak memperlihatkan realitas trotoar yang lebih mirip jebakan batman, bolong-bolong, berlubang, menyempit, dipakai kendaraan bermotor, parkir di trotoar, bahkan di kota kota besar dipakai jualan gorengan dan nasi kuning. Jadi sebenarnya anak-anak disuruh jalan kaki atau ikut lomba Ninja Warior ?

Saya tidak anti jalan kaki. Jalan kaki itu sehat. Tapi konteksnya penting. Di Finlandia, anak-anak jalan kaki ke sekolah melewati jalur pejalan kaku yang tertata, aman, bahkan penuh pepohonan rindang yang seakan berkata, Selama pagi, calon masa depan bangsa. Sementara di sini, pohonya udah ditebang, trotoarnya diambil tukang parkir, dan sisanya dilibas motor yang merasa dirinya pejalan kaki juga.

Bayangkan anak-anak SD berjalan kaki 2-3 kilometer ke sekolah dibawah terik matahari, menghindari lubang got yang terbuka, sambil menahan napas lewat tukang gorengan yang gorenganya sudah akrab dengan karbon monoksida. Itu belum termasuk kemungkinan kena semprot pak ogah atau dikejar anjing liar. Kalau semua itu bisa mereka lewati, mungkin mereka bukan butuh ijazah tapi mendali keberanian.

Kebijakan ini juga dibungkus dengan narasi pembentukan karakter. Katanya dengan jalan kaki, anak-anak belajar disiplin, tanggung jawab, dan ketahanan fisik. Tapi jangan-jangan yang lebih terbentuk adalah trauma dan betis beton.

Karakter memang penting. Tapi karakter tidak tumbuh dari derita, bro. Ia tumbuh dari contoh. Anak-anak disuruh jalan kaki, tapi kepala sekolah tetap masuk pakai Fortuner. Orang tua disuruh gak antar jemput, tapi pejabat dinas pendidikan justru minta iring-iringan.

Kalau memang karakter yang mau dibentuk, kenapa tidak mulai dari pejabatnya? Coba satu minggu aja, bapak-ibu pembuat kebijakan jalan kaki ke kantor. Lewati jalur yang sama dengan murid. Kalau bisa sampai kantor tanpa tergelincir atau terperosok, baru kita anggap program ini sah.

Saya tidak anti kebijakan yang mendorong anak lebih aktif. Tapi mari jangan menyuruh sebelum menyediakan, Jangan memaksa sebelum memfasilitasi. Anak-anak buka pion eksperimen kebijakan coba-coba.

Kalau betul kita ingin anak-anak sehat dan mandiri, mulailah dari membangun infrastruktur yang manusiawi. Jalan yang layak, trotoar yang beneran untuk pejalan kaki, pengawasan yang aman, dan ini yang paling penting keputusan yang pakai logika dan empati.

Karena jangan sampai nanti, anak-anak yang tadinya cuma mau belajar, malah lulus jadi seorang ninja warior tanpa disengaja.

No comments

Powered by Blogger.