Dompet Tipis, Emosi Lebih Tipis Lagi


Jadi begini, saya cuma ingin beli sabun mandi dan beras dua liter. Tapi ketika saya buka dompet. isinya cuma dua receh dan satu kartu ATM yang kalau ditarik saldo isinya cuma tulisan " Maaf, saldo Anda tidak mencukupi. Mungkin juga hidup Anda."

Lalu saya pulang. Istri saya nanya, "Mana sabunya?"

Saya jawab, " Cinta kita masih bersih, Sayang. Gak perlu sabun."

Dia tidak tertawa. Bahkan piring sempat terangkat sedikit.

Sebagai suami, tentu saya merasa bertanggung jawab. Tapi jujur saja, penghasilan saya sekarang lebih cocok disebut pengasalan.

Dulu saya kerja kantoran, kena PHK. Sekarang kerja serabutan: kadang ojek online, kadang freelance desain, kadang cuma freeload tidur siang di rumah tetangga yang AC-nya dingin.

Istri saya, ibu rumah tangga sejati. Tapi sejak ekonomi kami kempes kayak ban bocor, suasana rumah juga ikut kempes. Suara cinta berubah jadi suara kritik, perhatian berubah jadi interogasi.

"Kenapa belum transfer uang belanja?"
"Kenapa kamu bisa tidur nyenyak, padahal tagihan listrik belum dibayar?"
"Kenapa kamu masih hidup, padahal tidak ada pemasukan?"

Pertanyaan terakhir saya anggap bercanda. Tapi dengan mata melotot begitu, saya mulai meragukan niatnya.

Saya tidak menyalahkan istri. Saya paham tekanan di pundaknya: anak merengek minta jajan, tagihan numpuk, tetangga update Instagram lagi staycation. Sementara kami update saldo rekening—dan tetap nihil.

Tapi saya juga ingin dimengerti.
Saya ini bukan malas, cuma sedang kalah.
Bukan tidak berusaha, tapi memang sekarang dunia kerja bukan hanya soal kerja keras, tapi juga relasi, jabatan, dan… kadang-kadang keberuntungan.

Kami pernah bahagia meskipun sederhana. Tapi entah kenapa, ketika ekonomi menurun, romantisme ikut hilang. Dulu kalau saya pulang bawa bakso, istri tersenyum manis. Sekarang saya pulang bawa plastik, dia curiga: "Itu utang lagi ya?"

Saya tulis ini bukan untuk mengeluh, tapi untuk memberi tahu: banyak rumah tangga sedang diuji. Dan ujian terberat itu bukan karena tak punya uang, tapi karena kita lupa bagaimana caranya bertahan bersama tanpa saling menyalahkan.

Kalau bisa, duduklah berdua. Bukan untuk saling debat, tapi untuk saling rangkul.
Ngopi berdua, walau kopi sachet.
Tertawa bareng, walau tagihan belum dibayar.
Karena hidup ini pahit. Tapi kalau pahitnya dirasakan bareng, bisa jadi manis juga.

Saya tahu, tidak semua suami beruntung. Tidak semua istri sekuat baja. Tapi kalau kita terus saling tuding, rumah tangga bisa jadi ring tinju, bukan tempat pulang.

Buat para pasangan di luar sana yang lagi berjuang: kalian tidak sendiri. Kalau dompet lagi sepi, jangan sampai rumah juga jadi sunyi. Bertahan itu tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.

Dan buat saya pribadi?
Saya mungkin belum bisa kasih emas,
tapi saya janji akan terus berusaha—dan tidak kabur.

No comments

Powered by Blogger.